Rabu, 17 November 2010

LEBARAN HAJI

"Mun pareng Anjeun-Na mikapalay nyawa hidep Ismail...."
"Taya Bayana ngoretkeun, Bapa"
Ibrahim Ngarumpuyuk
duaan paungku-ungku
(Budak nu Ngaran Ismail: Noor Z, 1389 H)

Lebaran haji tahun 2010 saya lalui di kota Surakarta, kota yang menamakan dirinya kota Budaya atau kota Batik. Sebauah penamaan atas identitas ketradisionalnya yang masih melekat yang sekarang ini terus digerogoti budaya mall. Ketika mall hadir dikota anda maka hancur pulalah tatanan ketradisionalan sebuah kota dan hilanglah identitas kotanya.
Hidup menjadi perantau yang jauh dari kampong sendiri membawa konsekuensi bahwa kita memang terpisahkan jarak dengan saudara-saudara ataupun orang tua. Tapi justru itulah yang membuat perantau mempunyai wahana yang lebih luas untuk terus belajar memahami hidup. Ini adalah tahun kedua saya melewatkan Lebaran Haji di Surakarta, rasanya sama saja. Dalam suasana lebaran haji dirumah yang sepi, yang tanpa ada bakar-bakaran sate, tanpa ada gule daging hasil pembagian daging kurban, gema takbir tak terlalu ramai, tak ada opor tak ada ketupat., tak ada keponakan yang bikin ribut selain itu saya memutuskan utuk ikut lebaran pada hari selasa. Keputusan ini tak lepas dari tak jelasnya keputusan para pemimpin agama baik nasional maupun internasional. Saya dibuat kecaewa lagi sama pemimpin-pemimpin itu, setelah saya juga dikecewakan oleh para pemimpin Negara ini. Bukankah Negara islam punya forum komunikasi negara-negara islam, meski metode-metode dalam penentuan waktu ada banyak bukankah mereka bisa berdiskusi tentang metode mana yang paling baik yang bisa dipakai bersama. Karena perjalanan waktu adalah satu garis saja maka untuk satu waktu tertentu maka hanya ada satu titik. Untuk hal ini Jangan bilang keberagaman adalah anugrah karena ini adalah tentang memilih satu yang tepat. Tapi ya mau gimana lagi yang terjadi memang seperti itu.
Meski jarak merentang ruang, biarkan aku melipur hatiku seperti yang Kahlil Gibran bilang “tidak kah kau ketahui, jarak itu tidak nyata, kecuali yang direntang khayalan rasa? dan bila pun jarak direntang oleh rasa dia menjelma jadi irama dalam jiwa. Sebab dalam ingatan tiada jarak terentang dan hanya dalam kelupaan terdapat jurang yang tidak terjembatani oleh mata atau suara”. Begitulah ibuku dan saudara-saudaraku, semoga kalia selalu dalam keadaan baik dan satenya matang dengan sempurna.
Didieu kuring sakaluwargi ngirim doa kanggo sadaya sareng nyobi nyukcruk arti pangorbanan. Mugia sadaya aya dina kawilujeungan
..........
Didieu kuring sumegruk, nyusud tapak Ibrahim nu samar
Didieu kuring ngaheruk, milang lengkah Ismail jeung Hajar
Didieu kuring Malidkeun diri, silanglang na sagara keusik
Didieu kuring ngojayan cinta nu kungsi ngancik
(Dayeuh Matapoe: Acep Zamzam Noor, 1989)

=sikasep=

Tidak ada komentar:

Posting Komentar