Kamis, 10 November 2011

SERI SURAT-SURAT...(.2) Salinan surat zainab buat hamid dalam "Dibawah Lindungan Ka'bah"



Abangku Hamid! 

Baru sekarang adinda beroleh berita di mana abang sekarang. Telah hampir dua tahun hilang saja dari mata, laksana seekor burung yang terlepas dari sangkarnya sepeninggalan yang empunya pergi. Kadang-kadang adinda sesali diri sendiri. Agaknya adinda telah bersalah besar sehingga kekanda pergi tak memberitahu dahulu. 

Sayang sekali, pertanyaan abang belum adinda jawab dan abang hilang sebelum mulutku sanggup menyusun perkataan penjawabnya. Kemudian itu abang perintahkan adinda menurut perintah orang tua, tetapi adinda syak-wasangka melihatkan sikap abang yang gugup ketika menjatuhkan perintah itu. 

Wahai abang…. Pertalian kita diikat oleh beberapa macam tanda Tanya dan tekateki, sebelum terjawab semuanya, kita telah berpisah dengan tiba-tiba. Memang demikiankah kehendah takdir? 

Adinda sentiasa tiada putus pengharapan, adinda tunggu khabar dan berita. Di balik tiap-tiap kalimah daripada suratmu. Abang!....surat yang terkirim dari Medan, ketika abang akan belayar jauh, telah adinda periksa dan adinda selidik; banyak sangat surat itu berisi bayangan, di balik yang tersurat ada yang tersirat. Adinda hendak membalas tetapi kearah manakah surat itu hendak adinda kirimkan, abang hilang tak tentu rimbanya! 

Jumat, 04 November 2011

(SERI SURAT-SURAT...1) Kepada Surtikanti, Isteriku

Beberapa jam sebelum pagi, sebelum gelombang pertempuran meledak lagi di Kurusetra, Karna tepekur sendirian di dalam kemahnya. Istrinya tidur pulas di peraduan. Karna tahu, hidupnya tak lama lagi. Karena itu, ia menulis sepucuk surat kepada Surtikanti istrinya.

“Peramal menujum aku akan tewas dalam perang ini. Tapi jangan dengarkan mereka, Surtikanti. Dengarkanlah aku. Nasib mungkin memihak musuh. Tapi aku akan menghadapi mereka – juga bila harus melalui mati.

'Mati', saat ini rasanya bukan lagi masalah bagiku, Istriku. Mungkin karena alasan perangku lebih besar ketimbang hidup. Atau setidaknya alasan itu adalah alasan kehidupan sendiri: aku berperang untuk mengukuhkan siapa aku. Di pagi nanti, Karna tewas atau Karna menang, keduanya akan menentukan siapa dia. Sebab, siapa sebenarnya aku, Surtikanti, selama ini, selain seorang yang tak jelas kastanya, tak jelas asal-usul, tak jelas kaumnya?